Latest News

Showing posts with label Kesetiaan Perkawinan. Show all posts
Showing posts with label Kesetiaan Perkawinan. Show all posts

Tuesday, August 24, 2021

Mewujudkan Kesetiaan Dan Komitmen Perkawinan

 🆁🅰🅶🅸 Jumat, 13 Agustus 2021.
Hari Biasa Pekan Biasa XIX
• Yos.24:1-13; 
• Mzm.136:1-3.16-18. 21-22.24; 
• Mat.19:3-12

Mewujudkan Kesetiaan dan Komitmen Perkawinan 

Dalam Kitab Kejadian diceritakan: Ketika itu Allah menciptakan manusia “seorang diri saja,” dan Allah memandang itu “tidak baik”. Kemudian Allah menciptakan “penolong yang sepadan dengan dia.” Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; “ketika ia tidur, Allah mengambil salah satu sisi sebelah dari padanya (terjemahan “rusuk” kurang tepat dan tidak sesuai dengan ayat 23), lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari sisi sebelah yang diambil dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan.” (lihat Kej 2:7.21-22). Ketika perempuan itu dibawa kepada manusia, berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku." (ay. 23). Daya tarik antara keduanya begitu kuat sehingga laki-laki rela meninggalkan kenyamanan keluarga ayah-ibunya untuk bersatu dengan belahan dirinya. (lihat ay. 24).
    Begitulah Kitab Suci menjelaskan hakikat perkawinan. Laki-laki dan perempuan, masing-masing sebagai “belahan jiwa”, menjalin komitmen satu terhadap yang lain secara tak terpisahkan. 
    Para nabi sering menggunakan komitmen antara suami-istri itu untuk menggambarkan hubungan Allah dengan Israel, yang telah lama terjalin dan diikat dengan Perjanjian, seperti yang diadakan oleh Yosua pada Bacaan pertama. Yosua mengingatkan bangsanya, bagaimana sepanjang sejarah keselamatan, Allah selalu memegang komitmen-Nya pada Perjanjian; berulang kali Ia mengambil tindakan penting untuk menyelamatkan umat pilihan-Nya. Maka kini, setelah Israel menjadi bangsa besar dan menduduki Tanah Terjanji, Yosua mengajak mereka membarui komitmen untuk setia pada Yahwe sebagai Allah satu-satunya yang harus disembah. (Lihat Yos 24:1-13.

Dalam Bacaan Injil hari ini Tuhan Yesus dicobai oleh kaum Farisi dengan pertanyaan: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?" (Mat 19:3). Yesus memberikan jawaban langsung ke dasarnya. Ia menunjuk kisah penciptaan manusia pada awal mula sebagai ketetapan Allah mengenai hakikat perkawinan. Kehendak Allah tidak bisa ditawar-tawar. “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia," (ay. 6). 
   Tetapi orang Farisi terus mengejar: “Jika demikian, mengapa Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya?" Yesus menjawab, “Itu karena ketegaran hatimu. … Tetapi sejak semula tidaklah demikian.” (lihat ay. 7-8). Memang Musa menambahkan berbagai macam peraturan tentang berbagai hal, karena orang Israel itu tegar hati, mengikuti keinginannya sendiri, tidak mau dididik, dan tidak mau memahami makna mendasar dari sesuatu yang dari semula dikehendaki oleh Allah.
    Yesus menegaskan: “Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan istrinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." Dalam Injil Markus, yang ditulis untuk bangsa non-Yahudi, ketentuan ini juga berlaku untuk perempuan yang menceraikan suaminya, (Mrk 10:12). 
    Oleh para murid, ajaran Yesus itu dirasa sangat berat. Jika hubungan antara suami dan istri itu tak terceraikan, “lebih baik jangan kawin," begitu kata mereka. Memang, Yesus mau menegaskan bahwa: hidup sebagai suami-istri itu merupakan suatu panggilan yang serius, menuntut komitmen penuh untuk terus dipersatukan sebagai pasangan “dua sisi” yang “tolong-menolong secara sepadan” sebagaimana dikehendaki oleh Allah.

Menurut berita, angka gugatan perceraian selama pandemi ini di Indonesia meningkat tajam. Angka itu didominasi oleh pasangan muda. Alasan yang paling banyak diajukan adalah “karena ketidak-cocokan”. Menurut para ahli, penyebabnya adalah komunikasi yang kurang efektif dan kurang produktif antara pasutri. Komunikasi yang buruk itu makin sering terjadi ketika pasutri lebih banyak tinggal di rumah.
    Maka kita semakin yakin bahwa cinta kasih yang disertai komitmen penuh sangatlah penting bagi para pasutri. Komitmen ini perlu dibangun sejak masa perkenalan selama pranikah; selanjutnya, setelah hidup berkeluarga, tiap pasutri dengan kesadaran penuh mesti terus berusaha mewujudkan komitmen itu dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya dengan menjaga kesetiaan suami-istri serta keutuhan perkawinan saja, tetapi secara positif mengekspresikan kasih sayang untuk terus memperkuat komitmen itu. 
    Perkawinan Kristiani adalah sakramen cinta kasih. Artinya, kasih yang kita terima dari Allah kita realisasikan dalam keluarga. Seperti apa kasih Allah itu? Sebagaimana tampak dalam Diri Putra-Nya, Allah itu mudah mengampuni, suka menolong; Allah berbagi isi pikiran dan kehendak hati; Allah menyembuhkan dan membangkitkan semangat; Allah mengorbankan Diri sampai wafat di salib. Melakukan tindakan nyata seperti yang dilakukan Allah itulah sumber kebahagiaan sejati dalam keluarga.

Ya Allah Sang Pencipta, syukur atas kasih orangtua sehingga aku dapat tumbuh dengan baik. Hadirlah dalam tiap keluarga agar tetap utuh dan melahirkan pribadi yang setia mengabdi Engkau dan rela membaktikan diri pada sesama. Amin.

Selamat pagi. Selamat beraktivitas dengan mengikuti protokol kesehatan. AMDG. Berkat TUHAN.
RS/PK/hr.